Sabtu, 28 April 2012

Cerpen

KARIER ATAU PERNIKAHAN
Baru lima menit Bu Fajari menerima beberapa laporan yang masuk pada hari itu dan dia langsung marah – marah. Uci, sekretarisnya yang hanya duduk sekitar sepuluh meter darinya terlihat kaget karena begitu tiba – tiba dipanggil dan dia langsung menghampirinya, “ Iya bu” jawab Uci singkat.
 “Uci, Anna sudah datang belum?” seperti biasa nada suara Bu Fajari yang tinggi.
 “Belum, Bu” Uci hanya menjawab singkat.
Bu Fajari mulai semakin marah “Bagaimana sich, jam segini belum datang juga. Kalau semua pekerjaannya beres sich, boleh sesekali datang terlambat. Tetapi lihat ini, laporan – laporannya tidak ada yang beres,” kata Bu Fajari sambil menyerahkan berkas laporan yang dibuat oleh Anna. Dengan melihat sekilas Uci sebenarnya tahu bahwa laporan tersebut memang tidak beres.
“Ya, begini ini kalau sudah menikah, perhatian terhadap pekerjaan pasti akan berkurang. Mereka akan sibuk dengan suami dan kalau sudah memiliki anak apalagi, waktu untuk perusahaan hampir tidak ada lagi. Mereka datang seenaknya dan bekerja seenaknya juga. Huh!” nada suara Bu Fajari semakin ketus.
Uci hampir terlonjak mendengar pernyataan itu dan memberanikan diri untuk bertanya “Tapi apakah betul semua itu karena pernikahan, Bu?” sebab dia tidak berpikir demikian. Mungkin karena kondisi kantornya saja yang semakin tidak kondusif sehingga membuat mereka semakin malas bekerja. Tetapi tentu saja Uci tidak berani mengungkapkannya.
 “Kamu tahu Uci, setelah wanita menikah, maka tidak akan bisa bekerja dengan beres dan sudah banyak contohnya. Aya dulu merupakan seorang karyawan yang memilki potensi yang baik dan tidak pernah datang terlambat. Semua pekerjaan diselesaikannya dengan baik, cepat dan rapi serta tidak pernah ijin bekerja. Tetapi setelah menikah semuanya berubah. Jadi, saya berpikir berkali – kali untuk menaikkan jenjang kariernya. Kemudian Nina dan sekarang Anna.”
 Uci pun akhirnya memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Dia tahu bagaimana Bu Fajari jika sedang marah. Yang Uci sesalkan adalah setiap kejadian seperti itu, Bu Fajari selalu menyalahkan pernikahan, kehidupan rumah tangga sebagai penyebab dari tidakberesan pekerjaan para bawahannya. Padahal belum tentu benar.
Sebenarnya Bu Fajari mempunyai pandangan yang negatif tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga dan dia pernah mengungkapkan mengapa dia tidak menikah.
 “Jika aku menikah, maka karierku akan terhambat. Sejak aku duduk dibangku SMA, aku sudah bercita – cita untuk meraih karier yang setinggi – tingginya. Aku ingin menunjukkan bahwa wanita bisa berbuat banyak sama seperti kaum laki – laki serta tidak tergantung pada mereka. Lagi pula kebanyakan laki – laki justru bergantung pada wanita, mereka memang lebih kuat secara fisik tetapi hati dan keberaniannya lebih lemah dari wanita. Lebih banyak laki – laki hanya memberikan penderitaan kepada wanita,” begitulah pandangan Bu Fajari.
 Sebenarnya Uci tidak pernah berpikir aneh – aneh, menurutnya hidup itu sekolah, lulus, bekerja dan menikah. Tiga tahap telah dilaluinya dan hanya tinggal menunggu tahap terakhir, karena memang setelah putus cinta dari pacarnya, dia belum memiliki teman dekat laki - laki lagi. Apalagi saat ini banyak teman – teman kuliahnya sudah menikah dan bagi Uci keinginannya untuk menikah sudah semakin kuat. Tetapi Bu Fajari pernah mengungkapkan kepada Uci “ Uci untuk menikah diperlukan persiapan mental yang benar – benar kuat, tetapi untunglah saya sudah belajar untuk tidak bergantung pada laki – laki, ingatlah bahwa menikah tidak selalu menyenangkan apalagi bahagia. Lagipula kamu masih muda dan harus ingat kariermu.”
Tidak mudah untuk Uci melupakan kata – kata Bu Fajari. Uci bingung, apakah Bu Fajari berusaha mempengaruhi dirinya untuk tidak menikah seperti dia? apakah itu suatu peringatan? Sulit baginya untuk memahami semua itu. Uci semakin pusing apalagi dia sendiri tidak tahu mengapa sulit baginya untuk mendapatkan pasangan yang cocok. Padahal orang mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita manis, baik kepribadiannya dan pintar. Tetapi yang namanya jodoh memang tidak ditentukan dari hal – hal yang tampak. Tuhanlah yang menentukan segalanya. Desakan orang tua untuk segera menikah adalah beban yang sangat berat baginya.
Sekarang ini kesempatan Uci untuk bergaul dengan seorang pria secara khusus pun sulit, apalagi pekerjaannya yang semakin banyak belakangan ini. Selain itu, akhir – akhir ini setiap hari minggu dia sering diajak Bu Fajari keluar. Sulit baginya untuk menolak permintaan tersebut apalagi Bu Fajari adalah atasannya dan dia juga tidak tahu bagaimana menyampaikannya kepada Bu Fajari. Kalau keadaannya seperti ini terus menerus, dia tidak akan memiliki privacy dan peluang untuk mengenal seorang pria secara khusus. Sering dia menyesal karena tidak mempunyai keberanian dan ketegasan untuk menyampaikan keinginannya, hanya karena dia ingin menyenangkan hati Bu Fajari.
Dengan malasnya Uci bangun dari tempat tidurnya ketika handphonenya berbunyi. Biasanya kalau minggu pagi Bu Fajari menelponnya dan menanyakan apakah dia mau menemaninya. Namun, betapa kagetnya dia ketika yang terdengar suara seorang pria.
 “Halo, apakah saya bisa bicara dengan Uci” ujar pria tersebut dalam mengawali percakapannya, belum sempat Uci menjawab pria tersebut kembali berbicara.
 “Halo….saya dengan Deni, maaf kalau saya mengganggu. Tetapi saya hanya ingin berkenalan, maaf kalau mungkin saya kurang sopan, saya adalah teman dari sahabat kuliah kamu, Debi dan saya mendapatkan nomor handphone kamu dari dia. Kalau kamu tidak keberatan siang ini saya akan kerumah kamu, sekedar ingin berkenalan. Saya yakin kamu mau memberikan saya kesempatan untuk mengenal kamu.”
Dengan tiba – tiba Uci menutup handphonenya karena dia tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Kalimat tersebut diucapkan dengan cukup cepat bamun sopan. Cukup lama dia berdiri dan masih memegang handphonenya.
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang, Bu Fajari belum juga menelponnya. Hati kecilnya memikirkan pria yang tadi pagi menelponnya, yang mengaku bernama Deni. Akankah dia metolak permintaannya untuk mengenalnya? tapi hati kecilnya mengatakan, apa salahnya mengenal orang lain? kalau memang dia tidak memiliki maksud buruk. Ketika dia sedang memikirkan pria tersebut, tiba – tiba terdengar sebuah mobil yang berhenti didepan rumahnya, dengan rasa penasaran dia menuju ke depan pintu rumahnya dan hanya terdiam, tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
“Assalamualaikum, maaf atas kelancangan saya. Saya Deni” kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Dengan sedikit ragu Uci mengulurkan tangannya juga “Uci”, jawabnya singkat. Kemudian keduanya pun masuk ke ruang tamu rumah Uci dan memulai percakapan. Kekakuan diantara mereka tidak berlangsung lama karena Deni memang orang yang pandai mencairkan suasana dan penuh humor. Dalam waktu singkat banyak yang mereka bicarakan.
Namun percakapan mereka pun terhenti ketika Bu Fajari menelpon dan seperti biasanya dia ingin mengajak Uci keluar. Pertemuan mereka berakhir ketika Uci menyampaikan hal tersebut kepada Deni.
“Oh maaf, saya tidak tahu kalau Uci sudah mempunyai acara. Tetapi bolehkan saya datang ke sini lagi?”
Uci tidak dapat menolak dan hanya mengangguk. Deni pun tersenyum lebar dan segera pamit. Uci sebenarnya sangat kesal, seandainya saja Bu Fajari tidak menelponnya dan tidak mengajaknya keluar.
Ternyata minggu – minggu berikutnya Deni datang lagi dan Uci pun bingung karena Bu Fajari selalu saja menelponnya dan mengajak pergi.
“Uci, sepertinya saya harus bertanya kepada kamu. Apakah benar orang yang mengajakmu keluar setiap hari Minggu itu bosmu?pria atau wanita?” tanya Deni dengan penasaran.
Dengan sedikit kesal mendengar pertanyaan Deni, Uci menjawab “Benar Den, dia memang atasanku dan sebagai sekretarisnya aku tidak bisa menolak apa yang sudah menjadi keinginannya.”
“Walaupun itu dengan mengorbankan dirimu sendiri?” tanya Deni.
Uci hanya bisa menatap Deni kemudian menunduk.
Begini Uci, kalau kamu tidak keberatan, mulai minggu depan saya akan bersama kamu untuk waktu yang lebih lama. Saya rasa sudah saatnya kita saling mengenal lebih mendalam lagi dan bagaimana kalau minggu depan yang mengajak kamu keluar saya, bukan bos kamu?”
Uci sudah menduga kalau Deni mulai serius dalam hubungan mereka dan dia pun sudah berharap akan hal itu. Tetapi disisi lain untuk mengatakan ‘tidak’ ke Bu Fajari, Uci masih takut. Bagaimana kalau dia nanti membencinya? Bagaimana kalau dia nanti dipecat? Namun di sisi lain saat ini adalah kesempatan dia untuk memulai suatu hubungan secara serius.
“Bagaimana Uci?”
Tiba – tiba Uci kaget dan belum bisa memberikan jawaban apapun. Dia masih bingung dan hanya bisa memandang Deni.
“Baiklah saya tidak akan memaksa kamu dan kamu juga tidak perlu menjawabnya sekarang. Tetapi kalau boleh saya memberi saran, janganlah kamu sia – siakan apa yang bisa kamu lakukan sendiri. Telpon saya bila kamu sudah siap dengan jawabanmu.”
 Deni pun pamit. Uci terdiam dan mulai meyadari bahwa selama ini Deni telah memberikan sesuatu yang lain untuk hatinya.
Setelah berhari – hari memikirkan tawaran Deni akhirnya Uci mengambil keputusan yang mungkin nantinya akan menentukan kehidupan masa depannya. Apapun yang terjadi dia harus bisa menolak ajakan Bu Fajari dan mengatakan terus terang kalau dia juga perlu memikirkan masa depannya mengenai pernikahan.
Baginya karier memang penting tapi menikah merupakan prioritas utamanya dan saat ini merupakan kesempatan baginya. Dia menghormati keputusan Bu Fajari untuk tidak menikah dan apabila Bu Fajari mempunyai sikap yang berbeda terhadapnya setelah dia mengatakan semua rencananya, dia pun akan menerimanya.
 Dengan perasaan bahagia atas keputusannya tersebut, dia pun menelpon Deni dan menyampaikan kabar gembira tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar